Selasa, 15 April 2014

Tiga Tubuh Guru Sejati

Tiga Tubuh Guru Sejati
    
 Murid  : Guru apa saja tiga tubuh dari guru sejati?
 Guru    : Seorang guru sejati  harus memiliki 3 tubuh yaitu:

1.Tubuh Jelmaan
Tubuh jelmaan diciptakan untuk menjaga muridnya baik jauh dan dekat sehingga muridnya dapat dilindungi dari bahaya dalam berlatih rohani seperti jebakkan iblis.Tubuh jelmaan wujudnya sangat indah dan menabjubkan,karena ia dapat mewujudkan menjadi apa saja sesuai keinginan murid.Tubuh jelmaan ini juga diciptakan untuk mengajar dialam2 rohani yg tidak terlihat oleh mata biasa.Sehingga Buddha sakyamuni dikenal sebagai guru manusia dan para dewa demikianlah semua guru sejati dapat melakukannya.Waktu muridnya bermeditasi mengunjungi alam2 rohani ia melihat gurunya mengajar dialam tersebut.Tubuh jelmaan tercipta karena welas asih agung untuk menolong semua mahkluk yang menderita.Hanya sedikit orang saja yang memiliki tubuh jelmaan dan orang itu kita kenal dengan julukkan Buddha atau guru sejati.

 2.Tubuh Kebenaran
 Tubuh kebenaran ini wujudnya adalah cahaya.Cahaya ini ada dimana2.Cahaya ini bersemayam dalam batin semua makhluk.Cahaya rohani ini hanya dapat dilihat oleh orang2 yg mata kebijaksanaanya terbuka.Jika seseorang bermeditasi dapat melihat cahaya rohani ini maka ia telah melihat tubuh dharma dan orang ini telah mencapai penerangan.Cahaya ini dikenal sebagai sifat Ketuhanan atau sifat Buddha.Hanya guru sejati saja yang dapat membuat anda melihat cahaya ini.Tanpa guru sejati tidak ada jalan bagi manusia untuk mencapai penerangan.

 3.Tubuh Jasmani
 Guru sejati yang ingin menolong manusia dan mahkluk lain harus mempunyai tubuh jasmani,karena melalui tubuh jasmani ini digunakan untuk mengajar manusia,dan dapat menanggung karma murid2nya dan mahkluk lain.Jika ingin menolong manusia harus menanggung karmanya.Inilah hukum alam.Tubuh guru sejati yang hidup lebih berguna dari tubuh guru sejati yang telah meninggal.Jadi tanpa tubuh jasmani guru sejati yang hidup tidak dapat menolong makhluk yang menderita.Dokter yang telah meninggal tak bisa mengobati orang sakit tapi dokter yang hidup saja yang dapat mengobati orang sakit.

Jati Diri

JATI DIRI





  Murid      :  Guru bagaimana kita mengakhiri proses kelahiran kembali?
            Guru     : Jika anda melihat hukum karma mustahil untuk tidak lahir kembali,kenapa? karena dalam hukum karma apa yang kamu buat akan kamu terima.Tanam padi akan menerima padi. Karma artinya perbuatan.  Jika anda berbuat  jahat akan lahir dialam sengsara dan jika anda berbuat baik akan lahir dialam bahagia. Namun setelah anda lahir anda menciptakan karma lagi baik maupun buruk sehingga anda harus lahir lagi.Jadi sungguh sulit keluar dari roda samsara. Buddha Sakyamuni mengatakan dalam hukum 12 mata rantai yaitu dari kegelapan batin munculah bentuk2 karma,dari bentuk2 karma munculah kesadaran tumimbal lahir dan seterusnya...
            Jadi jika ada bentuk2 karma harus lahir lagi. Karma bisa dilakukan melalui pikiran,ucapan dan perbuatan.  Karma ibarat  hutang yang harus dibayar. Jadi bisa anda pikirkan sendiri?Bagaimana kita bisa keluar dari roda samsara jika masih ada karma.
            Tapi Buddha Sakyamuni telah membuka rahasia agar kita dapat terbebaskan yaitu dengan menemukan yang sejati,yang tidak lahir,tidak mati dan mutlak. Dalam Udana VIII:3 berbunyi:
            “Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, yang mutlak. Duhai para bhikkhu apabila tidak ada yang dilahirkan, yang tidak menjelma, ,yang tidak tercipta, yang mutlak maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan ,pembentukkan, dan pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu karena ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, yang mutlak maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukkan, dan pemunculan dari sebab yang lalu”.
            Jadi anda harus menemukan yang sejati baru dapat terbebaskan dari kelahiran kembali, Dalam sutra maha kesadaran sempurna telah dikatakan bahwa jati diri ini suci,terang benderang,tidak lahir dan tidak mati.Jati diri ini dikenal dengan sifat kebuddhaan. Nah sekarang anda harus menemukan cahaya jadi diri ini dengan kata lain mencapai penerangan.Untuk mencapai penerangan anda harus mencari Guru Penerang.

Ketika R. A. Kartini Mengenal Agama Buddha

Ketika R. A. Kartini Mengenal Agama Buddha              

Buddhisme di Indonesia
Jakarta, Indonesia – Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati hari kelahiran Raden Ayu Kartini (Raden Adjeng Kartini), seorang pahlawan nasional perempuan yang merupakan pelopor pejuang hak-hak perempuan. Tapi di antara kemeriahan peringatan hari Kartini dengan tradisi mengenakan pakaian daerah, tidak banyak orang, khususnya umat Buddha yang mengetahui bahwa sedikit banyak pemikiran wanita kelahiran Jepara tahun 1879 ini dipengaruhi oleh agama Buddha.
Pengaruh agama Buddha dalam pemikiran Kartini terlihat dari penggunaan istilah-istilah Buddhis dalam bahasa Belanda seperti kata ” Boeddhabeeld ” (arca Buddha), ”Boeddha-kindje” (anak Buddha), ”Boeddhisme” (Buddhisme) dan ”Bodhisatwa” dalam beberapa suratnya kepada teman-teman pena asingnya dari Belanda, yang terkumpul dalam buku Door Duisternis tot Licht (Dari Gelap Terbitlah Terang) tahun 1912 yang dikumpulkan oleh J. H. Abendanon.
R. A. Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904). Sbr. Wikipedia.org
R. A. Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904). Sbr. Wikipedia.org
Dalam suratnya kepada Nyonya R. M. Abendanon-Mandri, istri J. H. Abendanon, pada 27 Oktober 1902, Kartini menceritakan bagaimana ia mengklaim dirinya sebagai seorang anak Buddha dan karenanya ia tidak memakan makan hewani, dan ia merasa kasihan dengan ayahnya yang menginginkan dirinya sebagai bukan anak Buddha.
Ik ben een Boeddha-kindje, weet u, en dat is al een reden om geen dierlijk voedsel te gebruiken….” – ”Saya adalah anak Buddha, Anda tahu, itu alasan saya tidak memakan makanan hewani…” (Door Duisternis tot Licht, hal.277)
Pengetahuan dan informasi yang didapat oleh Kartini mengenai agama Buddha ia peroleh dari pergaulannya dengan masyarakat etnis Tionghoa dan dari buku-buku yang ia baca.
Pergaulannya dengan etnis Tionghoa dapat dilihat dalam suratnya kepada Nyonya R. M. Abendanon-Mandri, istri J. H. Abendanon, pada 27 Oktober 1902, saat Kartini menceritakan dirinya yang sakit parah saat kecil dan menjadi sembuh berkat petunjuk temannya yang berasal dari etnis Tionghoa.
Pada masa itu agama Buddha baru bangkit kembali setelah tertidur sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, dan diperkenalkan kembali di Nusantara dalam balutan tradisi Tionghoa bersama dengan agama tradisi Tionghoa lainnya seperti Tao dan Kong Hu Cu.
Pergaulannya dengan etnis Tionghoa yang membawa budaya serta agamanya inilah yang membawa Kartini untuk mengenal agama Buddha yang kemudian memberikan inspirasi bagi pergolakan batin dan perjuangan bagi kaumnya.
Dalam surat-suratnya, sebanyak 3 surat ia memuji sebuah buku karya Harold Fielding (1859-1917) dari Belanda berjudul ”de Ziel van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa; Inggris: Soul of a People) yang diterjemahkan oleh Felix Orrt ke dalam bahasa Inggris.
Hilda Gerarda de Booij-Boissevain, tahun 1905. Salah satu sahabat pena Kartini. Foto: Egoproject.nl
Hilda Gerarda de Booij-Boissevain, tahun 1905. Salah satu sahabat pena Kartini. Foto: Egoproject.nl
Kartini nampaknya terkesan dengan buku karya H. Fielding tersebut sehingga ia perlu mengungkapkannya kepada tiga orang teman asingnya, di antaranya dalam surat kepada Dr. N. Adriani, 10 Agustus 1901; kepada Hilda Gerarda de Booij-Boissevain, 26 Mei 1902; dan kepada Nyonya R. M. Abendanon-Mandri, 5 Juli 1903.
Buku ”de Ziel van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa) sendiri berisi mengenai pengalaman dan pengetahuan si penulis (Fielding) mengenai ajaran agama Buddha dan bagaimana masyarakat Birma (Myanmar) menerapkan, menerjemahkan ajaran Buddha tersebut dalam kehidupan mereka.
Yang menarik dari buku tersebut adalah terdapat beberapa hal pembahasan mengenai perempuan, di antaranya adalah mengenai kedudukan kaum perempuan yang secara umum setara dengan pria, mengenai perkawinan yang dianggap murni urusan duniawi bukan urusan agama, dan peran perempuan dalam keagamaan pada masyarakat Birma yang ”lebih religius tapi tidak serius” yang berbanding terbalik dengan kaum lelakinya.
Tidaklah mengherankan jika dari pembahasan seputar kaum perempuan dalam buku bernuansa agama Buddha karya Fielding tersebut Kartini mendapatkan inspirasi dan dorongan bagi perjuangannya. Seperti yang diyakini oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ”Panggil Aku Kartini Saja”.
Pemikiran-pemikiran Kartini yang kritis yang tertuang dalam surat-suratnya merupakan pemikiran seorang perempuan Indonesia yang melampaui jamannya. Pemikirannya tersebut bukan hanya seputar emansipasi perempuan tetapi juga sebuah usaha pencarian nilai-nilai spiritual dalam beragama.
Kartini wafat di Rembang, Jawa Tengah pada 17 September 1904 di usia 25 tahun, setelah empat hari sebelumnya melahirkan putra pertama dan terakhirnya